Minggu, 10 April 2011

Penyakit Tanaman Padi

I.    PENYAKIT PADI

            Dewasa ini padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok dari setengah penduduk dunia. Luas arealnya sekitarnya sekitar 100 juta ha, dan lebih dari 90%-nya terdapat di Asia Selatan, Timur, dan Tenggara. Produksi totalnya sedikit dibawah gandum. Padi sudah lama diusahakan di Indonesia, khususnya di Jawa. Penanaman padi disini telah dimulai sebelum datangnya orang Hindu (200-300 AD). Oleh karena itu nama-nama dan istilah-istilah yang dipakai dalam budidaya padi tidak ada yang berasal dari bahasa Sansekerta.
            Di Indonesia dikenal padi bulu (javanica) yang berasnya bermutu tinggi, tetapi produksinya kurang, dan padi cere yang mutu berasnya rendah, namun produksinya tinggi. Di samping padi-biasa disini terdapat padi pulut (ketan) atau glutinosa.
            Di daerah tropic (garis lintang 0-25 derajat) ditanam padi indica yang tidak peka terhadap panjang sari: sedang di daerah beriklim sedang (30 derajat atau lebih) ditanam padi japonica. Selain bulu dan cere di Indonesia terdapat padi gundil yang merupakan bentuk-antara dari indica dan javanica (Purseglove, 1972). Padi ditanam sebagai padi sawah, padi gogo, dan gogo rancah.
            Sebelum didirikannya International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina, di Indonesia ditanam jenis-jenis unggul yang dirakit di Bogor, antara lain Bengawan, Intan, Peta, dan Sigadis, yang merupakan hasil penyilangan antara Latisail dan Cina (van der Meulen, 1951). Sejak tahun 1970-an di Indonesia lebih banyak ditanam jenis unggul yang dihasilkan oleh IRRI, yaitu padi-padi IR atau PB (Peta Baru).
            Indonesia berusaha untuk meningkatkan produksi berasnya dengan cepat agar dapat berswasembada. Usaha ini terutama dilakukan dengan intensifikasi, antara lain dengan perakitan jenis-jenis baru, pemupukan, dan pemakaian pestisida. Perakitan jenis-jenis tahan yang ketahanannya ditentukan oleh satu gen (ketahanan vertical), menghasilkan tanaman yang ketahanannya mudah ‘buyar’ jika terjadi ras serangga atau pathogen yang baru. Dengan demikian dalam usaha intensifikasi ini masalah hama dan penyakit menjadi lebih menonjol.
            Dengan memperhatikan kegagalan-kegagalan yang dialami pada Revolusi Hijau, para petani banyak yang menanam varietas-varietas padi lama, termasuk padi-padi bulu yang di samping rasanya enak juga mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap hama dan penyakit.

1.      BERCAK COKELAT
Drechslera oryzae

            Bercak cokelat (brown spot) umum terdapat di pertanaman padi Indonesia. Bahkan penyakit ini terdapat di semua negara penanam padi, baik di tropic maupun di daerah beriklim sedang. Karena sedemikian umumnya, penyakit kurang menarik perhatian petani. Lebih-lebih lagi di sini belum pernah dilakukan penelitian tentang besarnya kerugian yang disebabkannya. Namun karena penyakit tersebar sedemikan luas, secara keseluruhan kerugian yang diakibatkannya akan besar juga.
            Penyakit ini lebih banyak terdapat di pertanaman yang kurang baik keadaannya, antara lain yang kekurangan air dan unsur hara, sehingga sering penyakit dianggap sebagai ‘penyakit orang miskin’. Johnston (1961) melukiskan bahwa di Irian Jaya padi tanah kering yang kurus mempunyai daun-daun yang penuh bercak cokelat dan hampir semua biji pada setiap malai berubah warnanya.
            Untuk pertama kali penyakit ini diuraikan oleh van Breda de Haan di Jawa pada tahun 1900, dan jamur penyebab penyakitnya disebut Helminthosporium oryzae B. de Haan. Sejak dulu penyakit sering dilaporkan timbul merata-meskipun kurang merugikan-di banyak tempat di Indonesia, antara lain di Surabaya dan Madura (Ruigers, 1914a), Rembang (van Hall, 1920), dan Sumatera Barat (van  Hall, 1919, 1920, 1922). Penyakit ini juga umum terdapat di padi lebak di Palembang (Umayah dan Salim, 1997).
            Besarnya kerugian sukar diketahui secara tepat. Pada tahun 1978, 1979, dan 1980, luas penyakit bercak cokelat di Indonesia adalah 14.486, 4.164, dan 4.457 ha, dengan intensitas penyakit berturut-turut 15,1, 19,7, dan 12,7% (Anon, 1981). Sedang pada tahun 1977 dan 1978 di Sumatra Barat luas penyakit adalah 500 dan 366 ha, dengan intensitas penyakit 2,7-52,0% (lihat Mardinus, 1983). Di Delta Upang, Sumatra Selatan, intensitas penyakit sekitar 39% (Sutakaria dan Satari, 1976). Pada padi sawah lebak intensitasnya 10-20% (Mulawarman, 1993).
            Di India dilaporkan bahwa pada tahun 1942 bercak cokelat merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya paceklik (bahaya kelaparan) yang berat di Benggala. Diberitakan bahwa pada tahun 1942 dan 1943 kehilangan produksi di sana mencapai 50-91%.   

            Gejala. -Penyakit dapat timbul pada semai, daun, dan buah. Ini sering kali berturut-turut disebut sebagai kerusakan fase 1, 2, dan 3. Semai yang sakit akan mati. Kerusakan pada daun mempunyai arti yang paling penting jika dibandingkan dengan kerusakan pada semai dan buah. Penyakit pada buah dapat menurunkan mutu biji, dan dapat menyebabkan terbawanya penyakit ke semai yang akan datang.
            Parasit yang terbawa oleh biji dapat menyerang biji-biji yang akan dan yang sedang tumbuh. Semai yang terserang koleoptil, batang, dan akar-akarnya busuk, dan dapat menyebabkan matinya semai ini.
            Pada daun tanaman yang sudah besar terjadi bercak-bercak cokelat memanjang. Bercak-bercak kecil berwarna cokelat tua atau cokelat ungu. Bercak yang besar tepinya berwarna cokelat tua, tetapi bagian tengahnya dapat berwarna kuning pucat, putih kotor, cokelat, atau kelabu (Gambar 6.1). Kadang-kadang bercak mempunyai halo kekuningan. Daun yang sakit keras dapat menjadi kering. Jika keadaan membantu, batang dan tangkai bulir dapat terjangkit. Infeksi ini dapat menyebabkan patahnya bagian-bagian tadi dan menjadi keriputnya biji-biji.
            Tanaman yang sakit keras mungkin tidak membentuk malai, atau malai tidak dapat keluar dari upih daun. Serangan yang ringan pada bijji-biji dapat menyebabkan terjadinya bercak-bercak cokelat kecil-kecil. Pada keadaan ini biji tetap berisi dan dapat berkecambah. Biji yang terserang berat berwarna cokelat seluruhnya. Dalam keadaan yang sesuai, biji yang sakit diliputi oleh beledu hitam, yang terdiri atas konidiofor dan konidium jamur. Pada umumnya jamurhanya menyerang sebagian dari biji-biji pada malai.

            Penyebab penyakit. –Jamur yang menyebabkan bercak cokelat adalah Drechslera oryzae (B. de Haan) Subram, et Jain, yang disebut juga sebagai Bipolaris oryzae (B. de Haan) Schoemaker. Namun pada waktu ini jamur masih lebih dikenal dengan namanya yang lama, yaitu Helminthosporium oryzae B. de Haan. Di daerah beriklim sedang jamur mempunyai teleomorf (stadium seksual), membentuk peritesium, dan dideterminasi sebagai Ophiobolus miyabeanus Ito et Kuribay, atau Cochliobolus miyabeanus (Ito et Kuribay) Diekson.
            D. aryzae membentuk miselium berwarna cokelat kelabu sampai cokelat tua di dalam dan di luar jaringan tanaman sakit, dan juga di dalam biakan murni. Konidiofor berwarna cokelat muda sampai cokelat kehijauan, makin ke ujung warna makin muda, mempunyai panjang dan lebar yang sangat bervariasi, tergantung lingkungannya. Konidiofor mempunyai bengkokan seperti lutut yang khas, yang merupakan ttitik melekatnya konidium. Konidium yang paling bawah adalah yang paling tua. Konidium berwarna cokelat, berbentuk kumparan, kebanyakan agak bengkok, berdinding tebal, bersekat-palsu 5-10, dengan ukuran yang bervariasi, tergantung factor lingkungan dan ras-fisiologi jamur, dengan rata-rata 104 x 15,5 μm (Gambar 6.2). konidium mempunyai hilum yang khas, kecil, sering sedikti menonjol, ber-papil, berkecambah dari kedua sel ujungnya yang mempunyai dinding sel paling tipis dibandingkan dengan sel-sel yang lebih ke tengah (Holliday, 1980; Singh, 1969).
            Pada biakan murni jamur membentuk peritesium bulat, hitam, dengan ostiol yang berbentuk paruh. Badan peritesium berukuran 463-763 x 368-777 μm, sedang ukuran paruh 95-190 x 55-95 μm. Askus berbentuk tabung atau panjang, berbentuk kumparan, sedikit melengkung, 142-235 x 21-36 μm, kebanyakan berisi 4-6 askospora. Askospora seperti benang, bersekat 9-12, 250-469 x 6-9 μm, dan membentuk ragum (spiral) yang rapat di dalam askus (Holliday, 1980).
            D. oryzae menghasilkan racun (toksin) yang disebut cochliobolin atau ophiobolin, yang sangat meracun semai padi, menghambat pertumbuhan akar dan mempengaruhi respirasi daun karena mengganggu keseimbangan fisika dan kimia protoplasma. Jamur juga menghasilkan banyak enzim proteolitik dalam biakan maupun dalam jaringan tumbuhan inang. Enzim ini memecah fragmen-fragmen protein yang terdapat pada dinding sel sehingga mengganggu keutuhan sel (lihat Singh, 1969).
            Jamur mempunyai patogenitas yang sangat bervariasi. Bahkan menurut Vorrauray dan Giatgong (1972), hifa yang tumbuh dari sel-sel yang berbeda pada satu konidium yang sama dapat berbeda patogenitasnya. Hal ini akan mempersulit usaha untuk menemukan jenis unggul yang tahan terhadap bercak cokelat. Seperti halnya dengan lain-lain jamur Helminthosporium, dalam biakan murni D. oryzae mudah mengadakan saltasi yang tergantung dari suhu dan sifat medium biakannya.

            Daur penyakit. –D. oryzae dapat mempertahankan diri sebagai miselium atau konidium dalam biji-biji. Jamur juga terdapat pada biji-biji yang tampak sehat. Di dalam biji jamur paling sedikit dapat bertahan selama 4 tahun. Gejala penyakit yang pertama tampak sebagai bercak-bercaj atau garis-garis cokelat kekuningan pucat pada koleoptil kecambah.
            D. oryzae juga dapat bertahan dalam jerami yang disimpan di kampung-kampung, tetapi dari sini jamur sukar menginfeksi tanaman padi di sawah atau tegalan. Jamur juga dapat bertahan cukup lama di dalam tanah.
            Sampai sekarang dikatakan bahwa di alam praktis tidak terdapat tumbuhan inang lain dari D. oryzae. Pada percobaan inokulasi diketahui bahwa jamur dapat ditularkan ke 23 macam rumput-rumputan, antara lain padi liar (Oryza montana), rumput belulang (Eleusine indica), E. coracana, dan suket lemon (Digitaria sanguinalis). Keculai O. montana, di alam rumput-rumputan tersebut jarang menunjukkan gejala penyakit.
            Konidium jamur dapat dipencarkan oleh angina, tetapi jarak yang ditempuhnya tidak jauh. Bahkan konidium tidak dapat tertangkap oleh gelas benda yang diletakkan 6 m dari pertanaman yang sakit. Pada gelas benda yang diletakkan 0,75 m di atas pertanaman sakit hanya dapat tertangkap sedikit konidium (Hadisutrisno dan Triharso, 1972).
            Konidium tumbuh dengan membentuk pembuluh kecambah dari ujung-ujung sel basal dan apical yang dindingnya paling tipis. Kadang-kadang pembuluh juga tumbuh dari samping konidium. Dalam waktu beberapa jam ujung pembuluh kecambah membengkak, terbentuklah apresorium yang berlekak-lekak atau bercabang-cabang, dan jamur mengadakan penetrasi dengan menembus epidermis atau sel-sel kipas. Kalau infeksi terjadi melalui mulut kulit, apresorium tidak terbentuk. Pada umumnya infeksi terjadi sekitar 4 jam setelah perkecambahan konidium. Gejala penyakit yang pertama terlihat sekitar 24 jam setelah infeksi.

            Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit. –Tanaman padi mempunyai ketahanan yang berbeda-beda terhadap D. oryzae. Dari Filipina diberitakan bahwa pada jenis-jenis yang rentan penyakit pada semai yang berasal dari benih sakit dapat mencapai 10-58%.
            Dari penelitian-penelitian di India dan Jepang diketahui bahwa ketahanan daun terhadap bercak cokelat ditentukan oleh tebalnya sel-sel epidermal, tebalnya lapisan kutikula, dan banyaknya sel epidermal yang mengandung silisium. Selain itu ketahanan berkorelasi dengan banyaknya fraksi alkan pada lapisan lilin daun padi. Namun dewasa ini para ahli lebih banyak menghubungkan ketahanan dengan faktor-faktor fisiologi. Ketahanan berkorelasi dengan kecepatan akumulasi polifenol dan hasil-hasil oksidasinya. Pada tanaman yang tahan, jika sel-sel kipas terinfeksi, di dalamnya akan terbentuk endapan berbutir. Makin tinggi ketahanannya, makin banyak terbentuk endapan berbutir jika terjadi infeksi. Selain itu pada jaringan yang terinfeksi terdapat substansi yang mirip fitoaleksin yang menyebabkan terjadinya ketahanan (lihat Ou, 1985).
            Di Indonesia belum banyak dilakukan penelitian mengenai ketahanan jenis-jenis padi terhadap bercak cokelat. Menurut Harahap (1976), Taichung Native/1, IRS, Dawn, dan SML242 tahan terhadap penyaki ini, meskipun jenis-jenis itu akan menjadi rentan bila terjadi perubahan ras jamur. Pada pengujian Soepriaman et al. (1976) pada pembibitan di Rembang, Jawa Tengah, dari 74 jenis padi hanya 9 yang tahan terhadap bercak cokelat [dan juga terhadap Alternaria (Trichoconis) padwickii], antara lain adalah Siam 1019, Balop Merah 910, dan Madura Samba. Pada pengujian 111 jenis lokal Sumatera Barat yang dilakukan oleh Mardinus et al. (1978) diketahui bahwa hanya 3 jenis yang tahan, yaitu Pulut Samek, Pulut Halus Merah, dan Silang Wangi. Seterusnya pada pengujian terhadap 153 jenis padi Sumatra Barat Mardinus et al. (1981) menemukan 4 jenis yang sangat tahan, yaitu Seratus Malam, Bendang Halus, Riak Danau, dan Sipulut Ambacang, sedng yang tahan adalah Serayu, PLS-19, PLS-20, Randah Pianggu, Cinta Manis, dan Sasak. Di daerah pasang surut Kalimantan Selatan menurut Hanafiah Aini (1989) di antara 27 jenis padi lokal dan unggul yang diuji yang terbukti tahan adalah Puak, Adil, dan Randah Padang; yang agak tahan adalah Simun. Lemo Halus, Bayar Kuning, Bayar Palas, Pandak, dan Gedabung. Di antara varietas unggul padi pasang surut, Banyuasin dan Lalan tahan terhadap bercak daun, sedang diantara padi gogo Way Rarem (Sunihardi et al., 1999).
            Tanaman padi bertambah rentan bersama-sama dengan tambahan umur, dan menjadi paling rentan pada waktu tanmaan membentuk bunga dan buah. Kerentanan meningkat bersama-sama dengan meningkatnya berat kering, nitrogen, asam amino bebas, dan protein total.
            Kelembapan tanah dapat mempengaruhi ketahanan tanaman. Padi yang ditanam dalam keadaan kering, termasuk padi gogo, lebih rentan terhadap Drechslera. Selain itu kelembapan tanah mempenagruhi lamanya jamur bertahan dalam tanah. Makin tinggi kelembapan tanah, makin cepat matinya jamur yang terdapat di dalamnya. Pada kelembapan tanah 20% dengan suhu 310C jamur masih hidup setelah 6 bulan. Pada kelembapan tanah 96% dengan suhu yang sama jamur sudah mati dalam jangka waktu 1 bulan.
            Kematian pada semai lebih banyak terjadi bila tanah bersuhu rendah. Hal ini juga terjadi jika benih terpendam terlalu dalam, sehingga semai lambat muncul di permukaan tanah.
            Suhu optimum untuk perkecambahan konidium adalah 25-300C. Suhu minimum dan maksimum masing-masing adalah 2 dan 410C. Pembentukan konidium terjadi pada suhu 5 sampai 35-380C.
            Pada suhu 250C untuk mengadakan infeksi diperlukan kelembapan udara paling rendah 92%. Infeksi pada daun tidak terjadi pada kelembapan 89%. Agar dapat terjadi infeksi berat pada suhu 220C diperlukan masa lembap paling sedikit 10 jam.
            Dalam keadaan teduh atau gelap bercak bertambah dengan cepat. Pertumbuhan jamur dalam biakan murni juga terhambat oleh sinar matahari.
            Pada umumnya kekurangan ataupun kelebihan pupuk nitrogen menambah kerentanan tanaman. Serangan D. oryzae pada semai padi lebih banyak terjadi di tanah yang kurang mengandung kalium, mangan, dan besi, dan di tanah yang banyak mengandung asam sulfida.

            Pengelolaan. -1. meningkatkan cara bertanam. Seperti yang diuraikan di muka, di Tropik bercak cokelat tidak menimbulkan kerugian yang berarti pada pertanaman yang diusahakan dengan cara agronomi yang baik. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya kerugian karena penyakit tersebut tanaman harus mendapat air yang cukup, pupuk yang seimbang, ditanam secara serentak, pada saat penanaman yang tepat. Pemberian unsur hara yang tepat dianggap sebagai cara pengendalian bercak cokelat yang paling baik.
            Menurut Hanafiah Aini (1989), penyakit bercak cokelat di lahan pasang surut yang masam dapat dikurangi dengan pemberian kapur sebanyak 4 ton per ha.
            2. Sanitasi dan pergiliran tanaman. Karena D. oryzae dapat bertahan dalam tanah, jika di suatu lokasi bercak cokelat selalu merugikan, sebaiknya dilakukan sanitasi dengan memotong jerami dan memanfaatkannya untuk berbagai macam keperluan. Pergiliran tanaman (rotasi) akan dapat membunuh jamur yang bertahan dalam tanah.
            3. Perawatan biji. Karena D. oryzae terutama mempertahankan diri dalam biji, untuk mematahkan daurnya dapat dilakukan perawatan biji (seed treatment).
            Perawatan dengan air panas (hot water treatment) lebih efektif jika dibandingkan dengan pengobatan biji (seed dressing). Diduga ini disebabkan karena cara yang pertama dapat juga membunuh jamur yang berada di dalam biji. Untuk keperluan ini benih direndam air dengan suhu 420C selama 30 menit (Suskandini Ratih, 1997). Tetapi karena cara ini lebih sukar dilakukan, lebih-lebih karena adanya resiko yang besar jika terjadi kesalahan, maka perawatan dengan air panas jarang dilakukan secara besar-besaran.
            Perawatan biji secara kimiawi dilakukan dengan formalin, senyawa tembaga, dan lain-lainnya. Dahulu banyak dipakai senyawa air raksa untuk perawatan biji, tetapi sekarang pemakaian senyawa ini dilarang.
            Diberitahujan bahwa beberapa senyawa yang dipaki untuk merawat biji dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap bercak cokelat, antara lain 4-naftakinon (vitamin K), Na-pentaklorofenat, asam borat, α-indole acetic acid, sulfanilamid, dan griseofulvin (lihat Ou, 1985).
            4. Penanaman jenis yang tahan. Jika usaha-usaha pencegahan tersebut di atas tidak dapat dilakukan, dianjurkan untuk menanam jenis-jenis padi yang diketahui mempunyai ketahanan cukup terhadap bercak cokelat seperti yang sudah diuraikan di muka. Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti produktivitas dari jenis-jenis lokal yang dinyatakan tahan terhadap bercak cokelat tersebut.
            5. Penyemprotan pestisida. Di banyak negara telah dicoba penyemprotan fungisida untuk melindungi tanaman terhadap infeksi sekunder, meskipun nilai praktis dari usaha ini masih diragukan. Diberitakan bahwa edifenfos, mankozeb, antibiotik, dan beberapa bahan lain terbukti efektif. Pada percobaan di rumah kaca yang dilakukan oleh Irasakti dan Sukarsa (1985) di Lombok diketahui bahwa propineb, karbendazim, mankozeb, dan klorotalonil sangat efekif untuk mengurangi bercak cokelat.